Selasa, 26 Januari 2010

Surat Buat Figur Massa Depan Buru Selatan

Umar Bin Khattab, orang orang muslim mengenalnya sebagai salah seorang sahabat dekat Rasulullaah Muhammad Shallaahu Alaihi Wassalaam.

Salah seorang al-Khulafa’ ar-Rasyidun – para pemimpin terbaik – selain Abu Bakar, Ali Bin Abi Thalib dan Utsman Bin Affan. Mereka adalah para pemimpin yang tidak perlu melakukan kampanye merebut hati rakyat agar bisa menjadi pemimpin, mereka adalah orang orang yang menganggap kursi kepemimpinan bukan sebagai sebuah anugerah atau sebuah karir atau sebuah pengakuan atas puncak prestasi, mereka adalah orang orang yang menganggap kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dipertanggungjawaban kelak di hadapan Pemimpin Para Pemimpin, siapa lagi jika bukan Tuhan Yang Maha Kuasa

Postingan panjang ini adalah sebuah kisah tentang seorang pemimpin teladan yang seharusnya menjadi cermin dan panutan para pemimpin saat ini, karena sungguh telah kita lihat dengan mata kepala sendiri, di jaman sekarang sangat sulit kita temukan tipe pemimpin yang benar benar layak disebut sebagai seorang pemimpin.

Amanah dan Tanggung Jawab.

Pada suatu pagi, Umar terlihat berjalan terengah engah sambil menuntun seekor unta milik baitul maal (harta negara), rupanya unta ini telah terlepas dari penambatnya dan melarikan diri. Seorang penduduk kota Madinah yang keheranan bertanya “Mengapa tidak engkau suruh saja salah seorang anak buahmu untuk menangkap kembali unta itu? Mengapa seorang khalifah sepertimu harus turun tangan sendiri?”

Umar menjawab, “Aku tidak mau nantinya berdiri di hadapan Allah dengan predikat sebagai seorang pemimpin yang telah menyia nyiakan harta rakyat … “

Wahai para pemimpin jaman sekarang, seberapa banyak uang negara dan harta rakyat yang telah hilang dan tidak engkau lindungi selama masa engkau memimpin? Siapkah kalian nantinya menjawab pertanyaan Allah tentang amanah yang telah dibebankan di pundak kalian?

Pemimpin yang mau di kritik.

Di hadapan rakyat, Umar berkata dalam pidato pertamanya setelah dilantik menjadi Khalifah “Apakah kalian semua akan mentaati semua keputusanku sebagai khalifah?”

“Wahai Umar, Kami berbaiat (sumpah setia) untuk melaksanakan semua keputusanmu selama engkau berada di jalan Allah dan Rasul-NYA “ rakyat menyambut perkataan Umar.

“ … tapi jika aku keluar dari jalan Allah dan Rasul-NYA, apakah yang akan kalian lakukan?”

Seorang laki laki serta merta melompat keluar dari barisan sambil menghunus pedangnya dan berteriak “Wahai Umar, kami akan mengajak engkau untuk kembali ke jalan Allah dan Rasul-NYA, kami akan meluruskanmu kembali dengan pedang ini jika perlu … “

Allahu Akbar! Jika kita melakukan apa yang seperti telah dilakukan oleh laki laki itu di hadapan para pemimpin yang berkuasa saat ini, tentu kita sudah tinggal nama karena tembak ditempat oleh pasukan pengawal.

Jangankan mengingatkan pemimpin dengan senjata, mengingatkan pemimpin dengan kata kata saja bisa masuk penjara dengan tuduhan menghina simbol simbol negara.

Wahai para pemimpin jaman sekarang! Contohlah Umar yang langsung melompat dan memeluk hormat laki laki yang telah menghunuskan pedang di hadapannya, contohlah Umar yang berterimakasih karena masih ada yang mau mengingatkannya … contohlah Umar yang selalu menangis di malam hari untuk berdoa agar masih ada rakyatnya yang tidak takut kepadanya dan masih mau mengingatkan kesalahan kesalahannya.

Kasih sayang kepada rakyatnya.

Inilah cerita tentang ibu yang memasak batu untuk menipu anak anaknya yang sedang kelaparan.

Suatu malam Umar bersama Aslam salah seorang ajudannya menyamar untuk melakukan inspeksi keluar masuk kampung untuk melihat kondisi rakyatnya.

Di salah satu sudut kampung terdengarlah rintihan pilu anak anak yang sedang menangis, dan di sana Umar menemukan seorang ibu yang sedang memasak sesuatu di tungkunya.

“Wahai ibu anak anak mu kah yang sedang menangis itu? Apa yang terjadi dengan mereka?”

“Mereka adalah anak anakku yang sedang menangis karena kelaparan” jawab sang Ibu sambil meneruskan pekerjaannya memasak.

Setelah memperhatikan sekian lama, Umar dan Aslam keheranan karena masakan sang ibu tidak juga kunjung siap sementara tangisan anak anaknya semakin memilukan.

“Wahai Ibu, apa yang engkau masak? Mengapa tidak juga kunjung siap untuk anak anakmu yang kelaparan?”

“Engkau lihatlah sendiri … “ dan alangkah terkejutnya Umar ketika melihat bahwa yang sedang di masak sang ibu adalah setumpuk batu.

“Engkau memasak batu untuk anak anakmu?!!??”

“Inilah kejahatan pemerintahan Umar Bin Khattab …. “ rupanya sang ibu tidak mengenali siapa yang sedang berdiri di hadapannya,

“ … wahai orang asing, aku adalah seorang janda, suamiku syahid di dalam perang membela agama dan negara ini, tapi lihatlah apa yang telah dilakukan Umar, dia samasekali tidak peduli dengan kami, dia telah melupakan kami yang telah kehilangan kepala rumah tangga pencari nafkah. Hari ini kami tidak memiliki makanan sedikitpun, aku telah meminta anak anakku untuk berpuasa, dengan harapan saat berbuka aku bisa mendapatkan uang untuk membeli makanan … tapi rupanya aku telah gagal mendapatkan uang .. memasak batu aku lakukan untuk mengalihkan perhatian anak anakku agar melupakan laparnya …. “

“ …. sungguh Umar Bin Khattab tidaklah layak menjadi seorang pemimpin, dia hanya memikirkan dirinya sendiri”

Aslam sang ajudan hendak bergerak untuk menegur sang sang Ibu, hendak memperingatkan dengan siapa dia sedang berbicara saat ini. Tapi Umar segera melarangnya dan serta merta mengajaknya untuk pulang. Bukannya langsung beristirahat, Umar segera mengambil satu karung gandum dan dipikulnya sendiri untuk diberikan kepada sang Ibu.

Beratnya beban karung gandum membuat Umar berjalan terseok seok, nafasnya tersengah engah dan keringat mengalir deras di wajahnya. Aslam yang melihat ini segera berkata “ Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang membawa karung gandum itu …. “

Umar memandang Aslam sang ajudan “ … Wahai Aslam! Apakah engkau ingin menjerumuskan aku ke neraka? Hari ini mungkin saja engkau mau menggantikan aku memikul beban karung ini, tapi apakah engkau mau menggantikan aku untuk memikulnya di hari pembalasan kelak?”

Apa yang dilakukan Aslam adalah apa yang akan dilakukan oleh para ajudan pemimpin jaman sekarang … tapi masih adakah pemimpin jaman sekarang yang mau melakukan apa yang telah dilakukan oleh Umar? Jangankan sekarung gandum… buku agenda atau kertas catatan yang ringan saja pun akan meminta sang ajudan untuk membawakannya.

Apakah masih ada pemimpin seperti Umar yang merelakan tidur nyenyaknya hilang karena berusaha untuk melihat, mencari tahu dan berhadapan secara langsung dengan penderitaan rakyatnya? Dan bukannya hanya sekedar mendengar dari ‘ bisik bisik manis’ sang ajudan dan orang orang terdekat.

Menegakkan Keadilan Bagi Siapa Saja.

Pada masa itu, wilayah Mesir telah masuk dalam kekuasaan pemerintahan Umar dan yang menjadi gubernur Mesir saat itu adalah Amr Bin Ash. Mesir adalah sebuah wilayah luas yang kaya, dan rupanya penyakit jahiliah mulai kmebali merasuki sang gubernur dengan godaan gemar mendirikan bangunan bangunan mewah.

Di ceritakan bahwa persis di depan kantor istana gubernur Amr Bin Ash ada sebuah tanah yang cukup luas, sang gubernur berpikir “Alangkah indahnya jika dibangun sebuah masjid mewah di atas tanah itu .. sangat cocok bersanding dengan istana ini“

Tapi rupanya ada sedikit ganjalan, di tanah itu juga berdiri sebuah gubuk reot milik seorang tua penganut agama Yahudi yang tidak rela gubuknya dihancurkan untuk sebuah masjid. Segala macam upaya penggusuran pun dilakukan oleh Amr bin Ash, mulai dari cara baik baik dengan menawarkan uang ganti rugi dan juga memberikan rumah pengganti bagi sang kakek … yang semua ditolak mentah mentah oleh sang pemilik gubuk.

Amr Bin Ash hilang kesabarannya, penggusuran paksa harus dilakukan untuk memujudkan keindahan tata letak kota dan tinggallah kakek itu meratapi gubuknya yang dihancurkan oleh bulldozer anak buah Amr Bin Ash.

Dalam kesedihannya timbullah niat sang kakek untuk mengadukan kezaliman Amr Bin Ash kepada Khalifah Umar, dan pergilah ia menempuh perjalanan jauh menuju kota Madinah.

“Di manakah istana Khalifah Umar?” Kakek itu bertanya kepada orang pertama yang ditemuinya di Madinah dan orang yang ditanya itu menunjuk ke arah masjid.

“Aku telah menempuh perjalanan jauh dari Mesir, jangan engkau berusaha menyesatkanku karena aku tidak tahu seluk beluk tentang kota ini”

“Aku tidak berusaha menyesatkanmu! Masjid adalah istana khalifah Umar, di sanalah dia biasanya mengatur dan memberikan keputusan keputusan“

Sesampai di Masjid yang ditunjuk sang kakek pun kebingungan lagi, manakah orang yang menyandang gelar Khalifah itu?

Tidaklah dia melihat seorangpun di sana yang mengenakan baju mewah yang menunjukkan kebesaran seorang khalifah yang telah mengalahkan Byzantium dan Persia .. Khalifah yang telah diserahi kunci kota Jerusalem oleh Uskup Sophronius

“Khalifah Umar adalah orang yang sedang duduk di bawah pohon itu” seorang warga Madinah membantunya lagi menunjukkan seseorang yang berpenampilan seperti orang biasa.

Di hadapan ‘orang biasa’ itu diadukanlah masalahnya, setelah mendengar cerita sang kakek Umar berdiri mengambil sepotong tulang unta yang masih ada sedikit dagingnya, menggoreskan sebuah garis lurus di tulang tersebut dengan pedangnya dan kemudian membuat lagi sebuah garis menyilang garis lurus sebelumnya.

“Wahai kakek! Kembalilah engkau ke Mesir dan berikan tulang ini kepada Amr Bin Ash …”

“Wahai Umar, Apakah engkau sedang bercanda? Aku datang untuk meminta keadilan bukannya menjadi bahan olok olok!” Sang kakek meradang karena merasa dipermainkan.

“Kakek yang baik! Turuti saja perintahku …”

Sambil menggerutu sang Kakek pun kembali ke Mesir dan menyerahkan tulang yang sekarang telah berbau busuk itu ke Gubernur Amr bin Ash, sang kakek sudah pasrah dengan nasibnya jika nantinya akan dianggap menghina gubernur. Mau bagaimana lagi? toh dirinya hanyalah seorang Yahudi yang termasuk golongan atau kaum minoritas di era kekuasaan Islam yang sedang dalam masa jayanya.

Tapi alangkah kagetnya sang kakek, ketika melihat apa yang dilakukan Amr Bin Ash setelah menerima tulang itu.

“Bongkar Masjidnya!!! Bangun kembali rumah untuk kakek ini” dan Masjid mewah yang telah hampir jadi itu pun siap siap untuk dibongkar.

Akhirnya sang kakek mengetahui arti tulang dari Umar Bin Khattab itu.

“Wahai Amr Bin Ash, Setinggi tingginya kekuasaan seseorang, suatu saat dia akan mati dan harus melepaskan semua kekuasaannya … berakhir menjadi seonggok tulang. Bertindaklah lurus dan adil dalam memimpin, karena jika engkau berbelok sedikit saja dari amanah yang telah diberikan kepadamu, maka aku akan meluruskanmu … menghukummu dengan pedangku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar